Jangan Jatuh di Gunung

Akibat dari jatuh ketika melakukan kegiatan di alam bebas bisa bermacam-macam,  dari  yang hanya keseleo, patah tulang, luka-luka, sampai meninggal dunia. 

Jalur pendakian seringnya memang berupa jalan setapak / track yang terlihat, walaupun ada juga beberapa jalur yang tidak terlihat. Jalur yang tidak terlihat biasanya jalur-jalur yang jarang dikunjungi, jadinya tertutup semak atau daun. Untuk melewati jalur ini dibutuhkan peralatan navigasi seperti kompas atau gps. Jalur yang tidak terlihat juga bisa disebabkan karena jenis tracknya berupa pasir atau bebatuan seperti yang terdapat di track menuju puncak Gunung Semeru, Gunung Slamet, Gunung Merapi dan Gunung Rinjani.


Jalur track pendakian kan seringnya terlihat, lalu kenapa ada pendaki bisa sampai jatuh?

Disorientasi Jalur
Masih ingat pendaki asal Selandia Baru yang hilang dan ditemukan meninggal di Gunung Merbabu tahun 2018 lalu? Jasadnya ditemukan di aliran sungai jauh dari jalur pendakian. Dari lokasi ditemukannya jasad korban, diperkirakan korban tidak melewati jalur pendakian. Dia naik via jalur Cuntel, ketika dia sadar dia turun via jalur Thekelan dia menggunakan GPS untuk potong kompas menuju jalur Cuntel dimana dia memarkirkan motornya. Ketika menuju ke titik dimana dia parkir motor itulah diperkirakan dia terperosok ke jurang dan berhenti di aliran sungai. 

Gunung memiliki kontur yang tidak rata, ada jurang, punggungan, lembah dan sabana. Jika tidak melewati jalur yang benar, kita tidak tau medan apa yang kita temui di depan. Blank 75 di Gunung Semeru adalah bukti kalau tidak melewati jalur yang benar bisa tiba-tiba berhadapan dengan jurang yang mengancam nyawa.

Kurang Berhati-hati
Jatuh di gunung tidak hanya jatuh ke dalam jurang. Terjatuh ketika perjalanan naik atau turun pun sering dialami pendaki. Biasanya karena faktor jalan yang licin, tidak terdapat trap atau tangga di jalur yang menanjak atau faktor kelelahan dari pendaki.
Beberapa kali kejadian jatuh di gunung bahkan terjadi di kawah gunung berapi, seringya karena terpeleset ketika berada di tepi kawah gunung berapi. Banyak korban tidak bisa diselamatkan bahkan ada yang tidak bisa dievakuasi karena proses evakuasi membahayakan tim SAR.

Safety Gear
Beberapa jalur pendakian memang berbahaya, ada yang kanan kiri diapit jurang, ada yang berada di tebing bahkan ada jalur yang benar-benar terputus sehingga untuk melewatinya harus membuat jembatan. Untuk jalur-jalur berbahaya agar kita bisa melewatinya dengan aman dibutuhkan APD (Alat Perlindungan Diri) dan perlengkapan safety. Perlengkapan safety minimal yang biasa digunakan ketika akan melintasi track berbahaya berupa safety helmet, harnest, carabiner, figure of eight dan tali carmantel. Penggunaannya pun tidak sembarangan, harus melalui latihan atau minimal didampingi oleh ahli.

Jalur di Indonesia yang membutuhkan peralatan safety seperti jalur menuju puncak Gunung Raung dan Cartenz.

Menggunakan safety gear di jalur-jalur berbahaya memang tidak lantas membuat pendaki terhindar dari jatuh, tapi minimal dengan menggunakan safety gear kita bisa mencegah dan terhindar dari akibat yang lebih fatal ketika terjadi kecelakaan.

Sok Jagoan
Kecelakaan di gunung lebih sering terjadi ketika perjalanan turun daripada perjalanan naik. Beberapa kejadian pendaki jatuh terjadi karena pendaki itu berlari ketika perjalanan turun.  Entah karena buru-buru ataupun cari perhatian biar dikira jagoan. Pendaki yang berlari ketika turun tidak memperhatikan kalau yang dilakukan bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Untuk berlari di gunung sebenarnya ada olahraga trail running, tapi untuk bisa melakukannya diperlukan latihan khusus agar kaki dan badan kita lebih kuat dan terbiasa menjaga keseimbangan ketika menaiki dan menuruni gunung. Jadi kalau bukan atlit trail running jangan coba-coba berlari di gunung kalau tidak ingin membahayakan diri dan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar